Akhirnya hari ini tiba, bersyukur Allah masih memberikan kita kesempatan untuk menjalani bulan Ramadhan di tahun ini. Meskipun kita juga tak pernah tahu, apakah rezeki ini akan terus berlanjut sampai bersua Syawal. Bahkan tak ada jaminan pula, kita masih menyambung nyawa di hari pertama berbuka nanti.
Karena nyatanya ada saja yang bahkan di detik-detik masuk Ramadhan justru berjumpa ajal. Namun yang pasti, yang perlu kita sadari, di balik satu Ramadhan ini ada nikmat dan peluang untuk segera bertaubat. Rasanya tiada harapan yang lebih agung daripada mengharap merasakan sifat welas asih-Nya. Tiada syukur yang lebih konkret daripada membuktikan diri pantas menjadi seseorang mukmin yang diberi kesempatan menjalani bulan Ramadhan ini.
Sahabat pembaca yang budiman, telah mafhum jika bulan Ramadhan dikenal sebagai bulan pengampunan. Rasulullah Saw., bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan (ibadah) malam lailatul qadar dalam keadaan iman dan ihtisab, maka diampunilah baginya dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menjalankan puasa Ramadhan dalam keadaan iman dan ihtisab, maka diampuni pula dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari dan Musim).
See, keimanan kepada Rabbul Izzati menjadi syarat (proviso) pertama dan utama yang membuat Allah Swt., bakal memberikan rahmat dan maghfirah-Nya. Apalagi memang kewajiban menjalankan shaum Ramadhan ini ditujukan bagi mereka yang beriman. Itu artinya, peluang meraih pahala berlipat ini bersifat khusus. Hanya bagi mereka yang hatinya telah tercelup kenikmatan iman dan Islam. Sebab yang hanya mengaku-ngaku, bakal mendapati perintah ini sebagai sesuatu yang berat dan akhirnya sebisa-bisa dia mengakali syariat Allah.
Mengulas sedikit dari yang telah banyak disampaikan oleh para ulama dan asatiz, makna iman tidak sebatas pada percaya. Iman mengandung makna yang lebih dari mempercayai, ia dibangun dari tiga unsur (di dalamnya), yakni hati, lisan, dan af’al (perbuatan). Sederhananya, keimanan tidak hanya diyakini dan diucapkan secara zahir, tapi juga terbuktikan pada langkah-langkah di kesehariannya, yang berkesesuaian dengan apa yang telah dikuatkan dalam hatinya dan dilontarkan dengan ucapan.
Dengan kata lain, bohong keimanannya, jika ada salah satu dari ketiga komponen pembentuk keimanan tadi terlepas atau berbeda. Misalnya hati dan lisannya A, tapi perbuatannya justru B. Hati dan lisannya berbicara iman kepada Allah, tapi menyikapi shaum malah banyak kilah. Bahkan digoda oleh semilir wangi makanan di siang hari pun tak ada perlawanan dari diri untuk menguatkan (malah memilih berbuka lebih cepat). Ia hanya dapat melihat dari sisi hawa nafsunya, secara lahiriyah, puasa berarti tidak makan dan minum di siang hari, dan ini sesuatu yang memberatkannya. Akalnya tertutup, tidak sampai kepada Allah azza wa jalla, Sang Raja pemilik kerajaan langit dan bumi, Dzat yang memberikan perintah ‘kutiba’.
Inilah orang-orang yang dikelompokkan sebagai pendusta. Mengenai orang-orang pendusta, Rasulullah Saw., bersabda “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
Dengan pemaknaan iman yang demikian, rupanya Allah masih menuntut satu syarat lagi agar kita masuk dalam kategori yang diampuni. Yaitu ihtisaban, dalam redaksi terjemahannya ditulis mengharap pahala. Jika terjemahan ini terlalu umum dan sulit untuk dimaknai, mari kita kembali pada kata dasar dari ihtisaban, yakni hisab atau perhitungan.
Dari definisi tersebut tiada salah jika kita memaknai ihtisab sebagai evaluasi diri. Tentunya kita bisa mengevaluasi jika ada yang direncanakan sebelumnya. Berusaha merencanakan kebaikan yang telah dikomitmenkan, dan menilai ulang, apakah seluruh tools yang Allah berikan (waktu, tenaga, bahkan harta) yang Ia titipkan kepada kita ini telah didayagunakan untuk menunaikan rencana (keinginan) tersebut.
Itulah maksud dari ihtisab sebagai mengharap pahala. Hal ini dikarenakan rancangan aktivitas yang akan kita lakoni, kita takar, kita perkirakan (selama Ramadhan), mesti menjawab pertanyaan, adakah membawa keridhaan-Nya atau malah sebaliknya. Adakah kegiatan-kegiatan Ramadhan kita selaras dengan tujuan dari pelaksanaan shaum itu sendiri, yakni menjadi orang yang bertakwa?
Jika kita mau lebih dalam bertanya, sudah benarkah cara shalat kita? Sudah bertambahkah hafalan ayat kita? Sudah disampaikankah ayat-ayat Allah kepada sesama? Dan terpenting, sudahkah Allah, sebagai satu-satunya yang menundukkan hati dan ego kita?
Jika hari-hari Ramadhan, berlalu begitu saja, tanpa disertai upaya meraih derajat takwa, malah dari hari ke hari, momen-momen menunggu berbuka diisi dengan rebahan sambil scrolling medsos atau bermain game hingga lupa waktu. Sekalinya keluar hanya haha-hihi, flexing sana-sini, bahkan sampai meninggalkan waktu shalat. Bukankah kesempatan ini menjadi teramat disayangkan?
Jika ‘gaya’ puasanya demikian, Rasul sendiri yang mengatakan, tak ubahnya sebatas aktivitas menahan diri dari rasa lapar dan dahaga. Tak ada bedanya pula dengan program diet, yang salah satu konsepnya memindahkan waktu makan. Bedanya kalau di puasa, sarapan dimajukan menjadi sebelum subuh (sahur), sedangkan makan siang ditarik hingga datangnya azan maghrib. Jika sepanjang tahun kita masih berada pada fase yang demikian, ingatlah Rasulullah Saw., pernah menyindir kelompok tersebut, sebagai orang-orang yang merugi. Bahkan jika aktivitas tersebut terus berlangsung sampai habis masa Ramadhan, sudah bukan rugi lagi, melainkan ‘celaka’. Karena tiada satu pun dosa yang akan terampuni dengan aktivitas yang melalaikan waktu.
Rasulullah Saw., bersabda “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni” (HR. Ahmad).
Tulisan sederhana ini, adalah ikhtiar dari penulis untuk kita sama-sama belajar dan memperbaiki diri, juga memberikan secuil insight tentang hakikat Ramadhan, agar rezeki Ramadhan yang Allah berikan tahun ini, kepada kita, berdampak dan bernilai. Wallahu ‘alam
– Pipin Nurullah